Kamis, 06 Juni 2013

Kekerasan Terhadap Anak


Jakarta: Maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak membuat pendidikan seksual harus segera diterapkan. Pendidikan seksual terhadap anak penting untuk melindungi anak-anak dari pelecehan, namun selama ni banyak orangtua mengira mereka baru bisa memberikan pendidikan ini ketika anak duduk di bangku sekolah.

Masih segar dalam ingatan kita kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan seorang wakil kepala sekolah di Jakarta Timur. Korban mengaku empat kali dipaksa melakukan tindakan asusila, dan diancam nilai dan ijazahnya akan ditahan jika berani menceritakan tindakan itu pada orang lain.

Sementara itu ada kasus siswa SD di Depok yang dilecehkan oleh sopir angkot. Ia diajak berkeliling naik angkot pelaku dan dicekoki obat sebelum akhirnya dilecehkan. Korban kini mengalami trauma berat.

Terakhir kasus yang menimpa seorang remaja putri di Cengkareng, yang dicabuli oleh ayah tirinya selama dua tahun hingga korban hamil empat bulan.

Melihat kasus-kasus yang terjadi seolah kekerasan seksual pada anak tak pernah berhenti. Tahun 2011 ada lebih dari 2.500 kasus kekerasan pada anak. Sebanyak 58 persennya adalah kekerasan seksual. Prosentase ini meningkat di tahun berikutnya mencapai 62 persen dari 2.637 kasus. Dan jumlah ini diprediksi terus bertambah.

Bahkan aktivis perlindungan anak menetapkan tahun 2013 sebagai tahun genting atau darurat kekerasan seksual pada anak. Karena baru berjalan dua bulan jumlah laporan yang masuk sudah mencapai 40 buah.

Menanggapi fenomena ini sosiolog Universitas Indonesia Paulus Wiratomo mengungkapkan hilangnya kontrol dan rasa saling peduli di antara sesama di lingkungan tempat tinggal, yang membuat kasus pelecehan terus terjadi.

Meski berbagai upaya telah dilakukan namun kepedulian masyarakat serta pemberian pemahaman tentang keselamatan tetap menjadi kunci utama, untuk mencegah maraknya pelecehan terhadap anak.